Apakah sahabat dapat menyebutkan subspesies banteng apa saja yang ada di dunia? – Saat ini hanya tercatat tiga sub species banteng yang masih hidup di dunia, dan dua diantaranya hanya dapat sahabat temukan di Indonesia!

Merupakan kerabat dekat dari sapi, yuk kita bahas salah satu satwa nusantara, Banteng Jawa si tangguh yang terancam punah!

Ayo Kenali Banteng Jawa

Habitat

Seperti namanya, Banteng Jawa merupakan satwa endemik yang hanya dapat ditemukan di pulau Jawa. Pada umumnya, banteng jawa dapat ditemukan di berbagai habitat termasuk hutan, lahan pertanian dan daerah rerumputan. Namun sayang, kini habitat alami satwa ini semakin mengecil.

Saat ini sahabat hanya dapat menemui mereka di jangkauan ekologis banteng seperti Taman Nasional Ujung Kulon, Alas Purwo dan Taman Nasional Baluran. Sahabat juga bisa mengunjungi Bali Safari Park untuk bisa melihat satwa ini dengan bus, cek detailnya disini!

Apa Yang Membuatnya Terancam Punah?

Seperti yang kita tahu, jumlah hutan alami mengalami penurunan drastis. Hal ini tentu berdampak pada habitat banyak satwa yang terancam punah tak terkecuali Banteng Jawa. Selain hilangnya habitat alami, satwa tangguh ini juga terancam karena adanya perburuan liar akan daging dan tanduk mereka.

Akibat ancaman tersebut, mengakibatkan sekitar 80% populasi banteng menurun drastis. Bahkan diperkirakan bahwa disetiap habitat, populasi mereka tidak mencapai 100 individu.

Apa Yang Menjadi Kebiasaan Mereka?

Apakah kamu tahu bahwa Banteng Jawa sangat menyukai kebiasaan yang sama? – pada pagi hari, biasanya banteng akan mendatangi daerah rerumputan untuk mencari makan. ketika matahari sudah terik, mereka akan memanfaatkan waktunya untuk mencari sumber air dan menepi untuk beristirahat.

Waktu reproduksi Banteng Jawa ada di malam hari, dan mereka termasuk kedalam jenis satwa monoestroes atau memiliki satu musim kawin dalam setahun yang hanya terjadi pada bulan Juli hingga November.

Memiliki karakteristik yang mencolok

Mereka biasanya sangat mudah dikenali karena tanduknya dan warna tubuhnya yang berbeda. Pejantan biasanya dapat tumbuh hingga 1,6 meter dengan berat mencapai 363kg.

Akan sangat mudah bagi sahabat untuk membedakan antara jantan dan betina. Pejantan dewasa biasanya memiliki kulit berwarna hitam atau coklat tua, sedangkan betina memiliki warna coklat muda atau merah bata.

Sebagai salah satu satwa dilindungi yang terancam punah, Banteng Jawa sudah sangat sulit ditemukan di alam liar. Untuk membantu upaya konservasi satwa, sahabat dapat ikut berkontribusi dengan mengunjungi tempat konservasi seperti Bali Safari Park.

Banteng (dari bahasa Jawa/Sunda: banthèng; nama spesies: Bos javanicus) atau tembadau adalah spesies hewan yang sekerabat dengan sapi dan ditemukan di berbagai wilayah Asia Tenggara. Banteng jantan dan betina memiliki perbedaan yang mencolok (dimorfisme seksual): pejantan biasanya berkulit cokelat gelap atau hitam, berbadan besar dan kekar, sedangkan banteng betina lebih langsing dan memiliki kulit cokelat muda. Banteng memiliki bercak besar berwarna putih di bagian bokong. Baik pejantan maupun betina memiliki tanduk, umumnya dengan panjang 60 hingga 75 cm. Ilmuwan umumnya membaginya menjadi tiga subspesies: banteng jawa, banteng indocina, dan banteng kalimantan. Banteng liar biasanya lebih besar dibandingkan banteng yang telah didomestikasi oleh manusia.

Banteng aktif pada siang dan malam hari, tetapi aktivitas malam lebih umum di daerah yang banyak dikunjungi manusia. Kawanan banteng di alam liar terdiri dari 2 hingga 40 ekor banteng dengan hanya satu pejantan. Banteng adalah hewan dalam golongan herbivora dan memakan berbagai tumbuhan seperti rumput, teki, tunas, daun, bunga, dan buah-buahan. Banteng sering minum air, terutama dari air yang tenang, tetapi mampu bertahan beberapa hari tanpa air di musim kemarau. Fisiologi reproduksi banteng tidak banyak diketahui, tetapi mungkin mirip dengan sapi eropa yang telah banyak diamati. Induk banteng mengandung dalam jangka 285 hari (lebih dari 9 bulan, atau seminggu lebih lama dibandingkan sapi eropa) dan kemudian melahirkan seekor anak banteng saja. Banteng ditemukan di berbagai jenis habitat di jangkauan alamiahnya, termasuk hutan bertumbuhan peluruh, setengah peluruh, bagian bawah hutan montana, lahan pertanian yang ditinggalkan, serta daerah rerumputan.

Populasi banteng liar terbanyak berada di Kamboja, Jawa, Kalimantan (terutama Sabah, Malaysia) dan Thailand. Banteng ternak dapat ditemukan di Bali, pulau-pulau timur Indonesia (seperti Sulawesi, Sumbawa, Sumba), Australia, Malaysia, dan Papua Nugini. Banteng ternak di Indonesia disebut sapi bali, dan jumlahnya mencapai hampir 25% dari seluruh populasi sapi di Indonesia. Peternakan banteng dilakukan untuk menghasilkan daging, dan kadang digunakan sebagai hewan pekerja. Banteng feral ditemukan di Australia Utara (berasal dari banteng ternak yang didatangkan pada masa kolonisasi Britania dan kemudian dilepas dan menjadi liar), dan kemungkinan di Kalimantan Timur, Pulau Enggano, serta Kepulauan Sangihe. Banteng liar dinyatakan sebagai spesies genting dalam Daftar Merah IUCN. Di tempat hidup alamiahnya, banteng liar terancam oleh perburuan liar (untuk makanan, olahraga, obat tradisional, dan diambil tanduknya), hilangnya habitat, fragmentasi habitat, dan penyakit. Banteng dianggap sebagai hewan yang dilindungi di semua negara tempatnya hidup dan sebagian besar hanya ditemukan di daerah yang dilindungi (kecuali mungkin Kamboja).

Taksonomi dan asal-usul

Deskripsi spesies banteng pertama kali dilakukan oleh seorang naturalis Jerman Joseph Wilhelm Eduard d’Alton pada tahun 1823. Nama banteng yang diserap dari bahasa Jawa banthèng digunakan sebagai nama umum spesies ini, termasuk dalam bahasa luar Nusantara seperti bahasa Inggris, Prancis, dan Jerman. Nama-nama lokal lain yang digunakan di daerah jangkauan banteng adalah tembadau atau sapi hutan (Melayu), wau daeng (Thai), ngua pha (Laos), dan tsiane (Myanmar). Deskripsi d’Alton berasal dari dua tengkorak yang berasal dari Pulau Jawa dari seekor pejantan dan seekor betina, tetapi hanya pejantannya yang disebut sebagai banteng oleh d’Alton, sedangkan betinanya ia sebut sebagai sapi liar dari Jawa.[5] Tengkorak-tengkorak ini dibawa ke Museum Nasional Sejarah Alam di Leiden, Belanda. Berbagai nama kemudian digunakan oleh komunitas ilmiah untuk spesies banteng, termasuk Bos leucoprymnusBos bantengBos bantinger, dan Bos sondaicus. Kemudian, Dirk Albert Hooijer yang bekerja di museum tersebut menyebut bahwa nama yang digunakan d’Alton pada 1823-lah yang merupakan nama pertama yang sah. d’Alton menggunakan nama Bibos javanicus untuk pejantan yang ia deskripsikan, atau bisa dianggap sebagai Bos (Bibos) javanicus jika Bibos adalah subgenus dari Bos.[4][9]

Nama Bos leucoprymnus diajukan pada 1830, tetapi awalnya ditolak karena dianggap mendeskripsikan persilangan antara banteng dengan seekor sapi ternak; tetapi Hooijer menulis bahwa belum tentu deskripsi tersebut merujuk kepada spesies silang, dan kalaupun benar, nama tersebut tetap sah (sebagai sinonim). Namun, nama ini muncul tujuh tahun setelah deskripsi d’Alton sehingga tidak mendapat prioritas. Demikian juga dengan nama Bos banteng yang tercatat pada 1836 dan Bos bantinger pada 1845. Dalam revisi deskripsi d’Alton yang dikeluarkan pada 1845, para penulisnya berpendapat bahwa kedua spesimen tersebut adalah sapi liar dan menyebutnya Bos sundaicus. Salah satu kesalahan dalam tulisan ini adalah spesimen betina dianggap sebagai pejantan muda, dan kesalahan ini banyak diikuti tulisan-tulisan selanjutnya.

Subspesies

Dari perbedaan fenotipe, terdapat tiga subspesies yang diakui secara umum, walaupun tidak semua penulis menerima penggolongan ini, dengan alasan seringnya terjadi persilangan antara populasi banteng yang tinggal sedikit dengan kerabat-kerabat sapi lainnya. Ketiga subspesies ini adalah:

  • Banteng jawa (B. j. javanicus) d’Alton, 1823: Terdapat di Jawa dan mungkin Bali.
  • Banteng indocina atau banteng birma (B. j. birmanicus) Lydekker, 1898: Terdapat di daratan Asia Tenggara
  • Banteng kalimantan atau banteng borneo (B. j. lowi) Lydekker, 1912: Hanya ada di Kalimantan.

Penelitian filogeni yang dilakukan pada 2015 memperoleh genom mitokondria lengkap dari banteng kalimantan. Hasil ini menunjukkan bahwa banteng kalimantan berkerabat lebih dekat dengan seladang atau gaur (Bos gaurus) dibandingkan subspesies banteng yang lain dan diperkirakan mengalami divergensi sekitar 5,03 juta tahun yang lalu. Selain itu, banteng kalimantan memiliki jarak genetik yang lebih jauh dengan sapi eropa (Bos taurus taurus) maupun sapi zebu (Bos taurus indicus). Hal ini mengindikasikan banteng kalimantan liar tidak banyak bersilangan dengan kedua jenis sapi tersebut sejak divergensi genetik nenek moyang mereka. Peneliti tersebut juga mengusulkan kemungkinan banteng kalimantan dianggap sebagai spesies sendiri. Hubungan filogenetik antara subspesies-subspesies banteng dengan kerabat-kerabatnya ditunjukkan oleh kladogram.

Baca Juga : https://www.botanicayoruba7.com/fakta-unik-harimau/